Rabu, 14 Juni 2017

Kesenjangan Pendidikan

Sistem pendidikan sekarang tak ubahnya seperti sistem ekonomi yang ada, yang pintar semakin pintar, yang bodoh semakin bodoh. Terkesan pendidikan hanya milik manusia pintar dan kaya, sebaliknya manusia bodoh dan miskin tak diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan. Pendidikan kian hari makin mahal, untuk siapa? Untuk orang-orang yang kaya tentunya. Pendidikan hanya terpusat di kota-kota besar, untuk siapa? Untuk masyarakat yang katanya modern. Ada jarak yang coba dibangun dengan pelabelan tersebut, antara yang kaya dengan yang miskin, yang pintar dengan yang bodoh, dan yang kota dengan yang kampung.
Ambil contoh salah satu pembelajaran di kelas, kebanyakan guru akan lebih dekat ke anak yang dianggap pintar atau yang duduk di depan. Sebaliknya anak yang duduk di belakang, yang kebanyakan bodoh tidak mendapat perhatian dari guru. Dari sikap tersebut telah mencerminkan sikap tidak adil secara sosial, atau jauh dari sila kelima pancasila, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal tersebut terjadi di karenakan kurikulum yang ada dibuat hanya oleh anak-anak yang juara kelas di kelasnya. Sehingga pembelajaran pun hanya terfokus untuk menjadikan semua anak juara kelas. Bolehlah sekali-kali yang paling bodoh di kelas diajak untuk membuat kurikulum pendidikan.
Mengutip salah satu guru di pesantren, "Tidak ada anak bodoh di dunia ini, yang ada belum menemukan jalan kepintarannya". Dari perkataan beliau tersebut dapat kita ambil sebagai landasan bersikap dalam pembelajaran terhadap anak, untuk berlaku adil, menganggap semua anak yang ada pada dasarnya pintar. Setiap anak unik dan punya kelebihan masing-masing yang belum tentu ada di anak lainnya
Selain itu, kesenjangan pendidikan antara yang kaya dan yang miskin terlihat dengan semakin mahalnya 'harga' untuk mengenyam pendidikan. Fakta tersebut tercermin ketika ada anak tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya, kebanyakan sebab karena mahalnya biaya pendidikan. Bukankah negara telah menjamin hak setiap warga negaranya? Sesuai UUD yang berbunyi "Negara menjamin hak setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang layak".
Selanjutnya, kesenjangan pendidikan antara kota dan desa muncul dengan adanya pelabelan universitas yang ada di kota besar adalah pusat segala pengetahuan, saya kira pusat pengetahuan adalah google bukan universitas. Hal tersebut memunculkan fenomena masyarakat desa yang dipaksa berbondong-bondong ke kota untuk mendapatkan pengetahuan. Fenomena tersebut terbukti ampuh menghasilkan anak pintar yang enggan kembali untuk membangun kampung halamannya, karena cara berpikir ke kotaannya tak sesuai lagi dengan yang ada di kampung. Seharusnya pemerintah fokus pada pembangunan universitas yang merata di daerah, bukan fokus pada pembangunan universitas mainstream yang ada.
Masalah kesenjangan pendidikan pada akhirnya dapat teratasi dengan cara menghilangkan sekat kesenjangan itu sendiri. Dengan cara membangun manusia atau penghilangan label diskriminasi pada kelompok yang bodoh, miskin, dan kampung. Sehingga yang ada adalah kelompok yang pintar, kaya, dan kota, jika kota dianggap sebagai komunitas yang maju dan modern. Dengan kata lain mengubah cara berpikir masyarakat yang sesuai dengan apa yang dikatakan Tan Malaka dalam salah satu bukunya "Bersikap adillah sejak dalam pikiran".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar